Rabu, 11 Desember 2013

KENCAN DENGAN BANG RIZA PART I

Sabtu, 2 November 2013

TIINN. TIIIINN.
Suara klakson mobil berbunyi kearahku. Sesosok bayangan di dalam mobil sedan itu malambaikan tangannya kaarahku, sebuah isyarat, memanggilku. Aku oun mendekat dan masuk ke mobil.

"Malem sayang, wuihh, kamu tambah ganteng deh malem ini." sapa Bang Riza, menghiburku. Ia sadar 3 setengah jam keterlambatannya agak keterlaluan. Aku diam, tak menanggapi.
"Kok diam aja sih, kamu marah ya?"
"Nggak, nggak marah kok."
"Senyum dong kalo nggak marah."
"Hhhm."
"Nah, gitu dong."
"Lupa ya Bang kalo ada janji?"
"Aku nggak lupa sayang. HP-ku mati, nggak bisa beritahu kamu kalo terlambat. Ditambah, di RS banyak yang menjenguk Nanda, kan nggak enak kalo ditinggal pulang. Ya kutunggu aja sampai pula..."
"Muach." kucium pipi Bang Riza, menghentikan segala upaya Bang Riza menjelaskan keterlambatannya.
"Aku ngerti kok, itu udah resiko ngadain kencan kayak gini." tambahku.
"Hee, aku cinta kamu Haris. Muachh." Bang Riza balas menciumku, di bibir. Bang Riza pun mulai memacu mobilnya.
"Mmm, bang."
"Apa sayang?"
"Di rumah abang..."
"Hmm?"
"Di rumah abang beneran nggak ad..."
"Haris. Di rumahku itu nggak ada orang, nggak ada siapa siapa. Abang udah bilang ke kamu kan?"
"Tapi bang, nanti kalo..."
"Kalo apa?"
"Istri abang..."
"Nanda ada di RS Haris sayang, ia masih butuh perawatan habis malahirkan. Dirumah gak ada or..." jelas bang Riza panjang. Sekali lagi berusaha menjelaskan padaku tentang situasi rumahnya. Tentang istrinya yang masih di RS karna habis melahirkan putra meraka yang ke-6, tentang mertua Bang Riza yang akan pulang malam ini karna seharian menjaga 5 jagoan Bnag Riza, tentang kelima anaknya yang harus ia jaga sehingga tidak bisa menginap, tentang rencana kencan kita malam ini. Ohh. Aku sungguh gamang dengan situasi ini. Membayangkan kami berkencan ria semalaman ditengah kebahagiaan lahirnya anak Bang Riza yang ke-6 membuatku ragu sekaligus ngaceng. Aku beranjak dari kursi depan dan duduk diatas pangkuan Bang Riza yang sedang menyetir. Bang Riza terlihat terkejut dengan aksiku. Mobil ini menepi. Ku posisikan tubuhku di atas pangkuan Bang Riza, menghadap ke belakang, kearah Bang Riza. Kusandarkan tubuhku ke depan, ke dada kekar Bang Riza. Kupeluk tubuh berotot Bang Riza dari depan.
"Sayang, apa-apaan tadi? Bahaya tau nggak? Gimana kalo..."
"Bang."
"Apa sayang?"
"Aku cinta Abang. Jangan tinggalin aku ya Bang."
"Aku nggak kemana-mana sayang. Kok kamu ngomong kayak gitu."
"Aku takut kalo suatu hari abang sudah hidup bahagia dengan keluarga abang, abang akan ninggalin aku."
"Haris, aku cinta kamu, tapi aku juga sayang Nanda. Aku akan berusaha membagi cintaku pada kalian berdua, seimbang mungkin. Aku nggak bakalan ninggalin kamu, nggak bakalan. Karena kamu adalah kekasih aku. Aku janji."
"Janji? Bang Riza nggak bakalan ninggalin aku sampai kapanpun?"
"Janji sayang." Bang Riza membelai rambutku dengan tangan kirinya. Mengecup keningku. Waktu seolah berjalan cepat. Memburu dua pria yang dimabuk kasmaran.
"Masih pengen menghabiskan malam ini dengan kencan sama aku? Guru Bahasa Inggris kamu yang paling seksi?"
"Hmm. Mau deh. Nggak kuat liat gantengnya muka pacar, eh, guru deh."
"Bukan Haris, aku bukan gurumu, dan kamu bukan muridku, kamu kekasihku yang paling kusayang." Bang Riza melanjutkan belaiannya di rambutku. Ia memelukku dengan erat, seakan aku anak kecil yang ditenangkan oleh ayahnya. Ia juga membelai lembut punggungku dengan tangan gempalnya. Moment intim yang membuat kontolku ngaceng sejadi-jadinya.
"Kamu ngaceng ya sayang?"
"Abang sih, seksinya kebangetan. aku pengen kayak gini terus bang."
"Hahaha, aku cinta kamu sayang. Kekasihku.".

Kurasakan ada yang bergerak gerak di bawah sana. Tepat di bongkahan selakangan Bang Riza yang menggunung. Dan aku tidak perlu satu kata dua kata untuk mengelus, menggenggam, meraba, dan membelai bongkahan gede itu. Bang Riza melenguh panjang. Bongkahan itu semakin menjadi-jadi besarnya.
"Sayang, aku masih harus nyetir nih. NGGGHHHH."
"Aku cinta Abang." kukecup dada kekar bembusung Bang Riza. Kukecup puting kirinya yang membekas tercetak jelas di kaus putihnya, bergantian dengan puting kanannya. Bang Riza menggerak-gerakkan pinggulnya naik turun seperti sedang ngentot. Tanganya tak henti-hentinya meraba punggung, rambut, dan dua belah pantatku.
"NGGGGHHH. Udah sayang, kita lanjutin jalannya yah."
"MMMHHHH." aku tak peduli. Aku hanya ingin berhenti dalam moment ini selamanya. Bang Riza kembali memacu mobilnya. Beradu dengan nafsu yang membara di sepanjang jalan pulang ke rumah Bang Riza, Kekasihku.

***

20 menit kemudian, kami sampai juga di perumahan tempat Bang Riza tinggal. Perumahan ini terbilang baru dibangun di kota. Sehingga kata Bang Riza penghuninya belum ada separo. Sesua rencana, Aku akan turun di perempatan depan gerbang masuk agar kedua mertua Bang Riza tidak curiga dengan keberadaanku. Kedua mertua Bang Riza seharian ini lah yang menjaga kelima jagoan Bang Riza. Dan mereka juga yang bertugas menginap di rumah sakit menunggu istri Bang Riza. Bang Riza kebagian menjaga kelima anaknya malam ini, dan tentunya, kebagian kencan bulan madu di rumahnya.

"Sayang, udah hampir sampai nih." Bang Riza menepi di depan pertokoan yang sudah tutup. Tempatnya tidak mencolok untuk menurunkanku.
"Sayang maaf ya kalo kamu harus turun disini dulu, aku janji, kencan kita yang berikutnya nggak akan kayak gini. Kamu akan kuturunkan di rumahku langsung. Janji."
"Nggak apa abang. Aku ngerti kok. Aku kan bukan anak kecil lagi abang. Muach." kukecup bibirnya.
"Kamu nggak marah lagi kan?"
"Nggak sayangku. Aku nggak marah kok." kutirukan panggilan sayang yang diucapkan Bang Riza padaku. Kuremas sekali lagi gundukan kontol di selakangan Bang Riza.
"Halaahh. Udah sayang, nanti aja mainnya. Aku cinta kamu. Muach." keningku di kecupnya.

Aku turun dari mobil dengan pakaian acak-acakan. Celana pendek yang kupakai tersingkap dan bajuku tak karuan. Padahal kami hanya bergelut bergumul kecil ria di dalam mobil. Mobil yang kuturunipun memutar dan sekejap memasuki gerbang perumahan di depan. Seorang satpam berkulit putih membukakan portal dan kulihat memberi hormat pada Bang Riza didalam mobil. Tak lama, portal kembali dibuka oleh satpam berkulit putih itu dan sebuah mobil jeep hitam melesat dari gerbang perumahan menuju kearahku. Kulihat dua orang dewasa sedang bercakap-cakap di jok depan. Ironi, mereka baru saja melewati remaja yang menjadi kekasih simpanan menantunnya dan sebentar lagi, saat mereka dengan bahagia menimang cucu mereka yang baru lahir, pemuda itu  sedang bercumbu ganas di rumah menantunya dengan menantunya, Bang Riza. Mertua Bang Riza sudah pulang, inilah waktunya.

Aku barjalan menuju gerbang dan menemui satpam berkulit putih tersebut.
"Pak, kalo mau masuk boleh nggak?", satpam itu sedikit bingung dengan pertanyaanku.
"Mas siapa ya? Orang luar nggak boleh masuk mas. Demi keamanan.", jawabnya. Aku tau, aku nggak bakal nyuri barang kok, aku cuma terlanjur nyuri hatinya Bang Riza.
"Keluargaku ada yang tinggal disini jadi..."
"Haris, sini masuk." suara Bang Riza dari kejauhan.
Membuyarkan lamunanku, itulah kata yang sangat tepat. Bang Riza sudah bertransformasi. Ia mengenakan kaus singlet putih yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang kekar gagah dan celana futsal warna putih pendek ngepas yang semakin membuat gundukan kontolnya yang gede tercetak jelas bagai botol aqua yang dimasukkan calana. Membuatku berdiri bergeming. Kontolku murka sejadinya melihat pemandangan erotis ini.
"Dia keponakanku, Gir. Rencana malam ini akan menginap di rumahku." sergah Bang Riza meminta izin pada satpam berkulit putih yang kubaca bernama Giri di nametag-nya.
"Oh begitu. Siap. Pak Riza nggak ke RS? Nemenin Bu Nanda?" tanya satpam Giri sambil membuka portal.
"Nggak, udah ada ortu Nanda yang jaga. Aku pergi dulu, Gir."
"Iya pak, selamat malam."
"Selamat malam.". Kami berjalan masuk berangkulan seperti sepasang sahabat.

***

"Abang seksi banget malam ini."
"Ah masak, dari dulu juga kayak gini."
"Nggak, malam ini abang jadi tambah seksi karna..."
"Karna apa?"
"Karna kita akan kencan." godaku sambil meremas gundukan besar di selakangan Bang Riza.
"Kamu udah nggak sabar ya sayang?"
"Kita lihat siapa deh yang sebenarnya nggak sabar." aku cipok bibir Bang Riza. FRENCH KISS. Kuhisap dalam dalam mulut kemerahan Bang Riza. Kuremas puting melenting nya.
"Har..is MMMHHH tutup dulu gih pagarnya. Biar aman." sergah Bang Riza.
"OIYA.".

Perlahan kututup pintu gerbang rumah Bang Riza. Dan permainan pun berlanjut.

***

BERSAMBUNG

Minggu, 01 Desember 2013

Selasa, 19 November 2013

Pak WANTO


Ehm, lama kuperhatikan Pak Wanto, satpam kantor itu. Umurnya hampir 40an, namun badannya masih bagus di balik pakaian satpam hitam2 yang ketet itu ,dan lumayan tinggi walau sedikit ‘ndut’, item, kumisan tipis yang tampak bekas cukuran. Terus terang, aku ada ‘nafsu’ ama dia. Gw banget.
Ada satu kebiasaannya yang membuatku keki. Dia senang sekali mencolek pantatku. Tambah hari kok pantatnya tambah seksi aja sih mas, celutuknya seraya mencolek pantaku bahkan kadang2 meremas kayak gemas gitu. Dan, biasanya hal itu ia lakukan saat aku melewatinya. Bahkan ga peduli betapa banyaknya teman2 sekantor yang tertawa menyambut leluconnya. Awalnya sih aku risih tapi selanjutnya aku cuek.
Ada satu hal yang menarik dari lelaki itu. Sungguh aku penasaran tonjolan yang menggunung di selangkangannya itu. Aku menelan ludah membayangkan ukuran kemaluannya. Aku jadi ‘terobsesi’ ingin menikmatinya.
Nah, hari itu, pertengahan Maret 2007, aku ketemu pak Wanto di lorong menuju toilet. Nampaknya dia baru selesai dari kamar kecil. Melihatku dia mengangguk dan tersenyum nakal. Aku berdebar, duh, gundukan itu membuatku makin penasaran
“eh, mas. Mau ke toilet ya?” sapanya mencoba ramah.
“ya, rame ga di dalam?”
“Ga mas. Sepi aja”
Aku melewatinya dan lagi-lagi tiba-tiba aku rasakan tangannya mencolek pantatku. Pak Wanto tertawa nakal.
“senang ya pak sama pantat saya?”tembakku.
“hehehe.. Bahenol..”
Aku tersenyum ragu membalas tawanya.
“sini deh Pak”panggilku agar dia mendekat. Dia yang semula mau berlalu, memandangku dan melihatku begitu serius segera mendekat.
“ada apa mas?”
“ehm… Saya penasaran Pak” jawabku, “ini apa sih? Kontol atau apa??”
Entah keberanian darimana, tanganku meremas gemas gundukan di selangkangan pak Wanto. Pak Wanto nampak kaget. Namun, ntah dia ga sempat menghindar atau memang pasrah, ga ada perlawanan dari dia.
“Membalas saya ya mas??” ujarnya sambil tertawa
“Habisnya bapak sering nyolek pantat saya. Ya, sesekali dong saya balas saja”
Pak Wanto tertawa lepas. Tanganku yang semula cuma sebentar meremas gundukan itu, kembali dengan berani meremasnya dengan gemas.
“ ini kontol atau apa pak,” celutukku nakal, “kayaknya gede banget Pak”
Pak Wanto nampak tidak menolak saat aku meremas-remas lagi dengan gemas kemaluannya. “ya kontol lah mas. Masa pentungan??” jawabnya sambil tertawa sumbang, mungkin risih karena tanganku masih menempel dan meremas-remas di sana.
“masa sih Pak,” aku kejar terus, ”gede ya Pak?”
“Iya lah. Ini aja belum bangun tuh”
“Akh, ga percaya”
“mau liat??” tiba2 dia menanyakan hal itu. Ehm…
“memang boileh saya liat?”
“klo mas mau buktiin,” tukasnya, “saya buka sekarang”
“Eh, jangan di sini Pak” cegahku saat dia mulai menurunkan risluting celananya, “di dalam, ntar ada yang liat kan malu tuh..”
“ Oh iya ya.. Lupa.. Hehehehe”
Di dalam, lantas kami memilih salah satu toilet di sudut ruangan dan tentu yang tertutup.
“nah, di sini kan aman Pak”
“Jadi mau liatnya?”
“Boleh. Saya penasaran segede apa sih”
Srettt.. Pak Wanto menurunkan risluting celananya lalu tangannya mencoba menyusup ke dalam celananya. Agak kesulitan baginya. Akhirnya, dilepasnya sabuk di pinggangnya melepas pengait celana kain bewarna gelap dan ketat itu. Kulihatlah sekilas gundukan itu dibalik balutan CD coklat tua. Akhirnya….
“Wah, astaga Pak,” gumanku kagum, “gede panjang Pak”
Pak Wanto tertawa seakan bangga dan mungkin senang karena mendapat pujian. Ya. Benda bulat panjang itu berada dalam genggamannya, masih lemas tentu saja, berjuntai indah dengan kepala besar mengecil ke pangkal batangnya yang ditumbuhi bulu lebat, yang pasti tidak pernah dicukur. Benda itu kian eksotik di mataku dengan warnanya yang gelap
“Nah. Sudah percaya kan?” ujar Pak Wanto seraya akan memasukan kembali ‘ular’ itu ke dalam sarangnya.
“Bentar Pak… “ cegahku, “saya belum puas melihatnya….”
Nekad aku pegang benda itu, terasa hangat. Pak Wanto tidak bisa menolaknya. Kugenggam dengan lembut benda itu.
“hihihihi.. Liat Pak,” ujarku, “warna kontol bapak di bandingkan dengan warna tanganku. Kontol bapak jauh lebih hitam tuh”
“Akh.. Mas ini bisa saja.”
Pak Wanto nampak pasrah membiarkanku menggenggam kemaluannya sambil berdecak kagum.
“Pak, ini aja belum bangun udah gede,”pujiku lagi, “gimana klo sudah bangun ya?”
Pak Wanto hanya tertawa kecil mendengar celotehku.
“Coba kita bangunkan yuk” ujarku nakal seraya mengocok pelan kemaluan Pak Wanto.
“Akh.. Kok dikocok mas?”
“Biar aja Pak, “pintaku, “saya pengen liat kontol bapak ini sebesar apa klo sudah mengeras”
“Jangan mas,” tolak pak Wanto, “Nanti klo sudah bangun gimana?”
“Cuman sebentar aja Pak”
“saat ini istri saya lagi datang bulan” terang pak Wanto, “Ntar saya salurkan ke mana? Ini aja sudah 4 hari ga dapat jatah”
“Tenang aja pak….”
Tak sabar lagi aku menanti lama. Aku segera jongkok dan mulai menjilati kepala kemaluan Pak Wanto. Sebentar saja kumasukan kepala kemaluan itu ke dalam mulutku. Aku permainkan dengan lidahku.
“ Mas……”
Pak Wanto nampak berusaha menarik kepala kemaluannya dari dalam mulutku.
“biar aja Pak” pintaku di sela-sela menyedot-nyedot kepala itu, “aku pengen ngisep kontol bapak yang gede”
Aku berusaha sedalam mungkin memasukkan kontol yg masih layu itu ke dalam mulutku hingga menyentuh pangkalnya. Kurasakan bulu-bulu jembutnya yang lebat menggelitiki bibirku. Kurasakan denyut kemaluan pak Wanto dalam mulutku. Puas mengulum benda itu samapi ke pangkalnya, aku mulai memaju-mundurkan mulutku sambil kugelitiki dengan lidahku.
“mas…..”
Pak Wanto nampaknya tidak kuasa menolak lagi. Kemaluannya berdenyut, memanjang, membesar dan tentu saja menegang. Membuatku agak kesulitan mengulum benda itu. Kugenggam pangkal batangnya itu sementara itu aku kian gencar menyedot-nyedot kepala dan sedikit batangnya.
Ada yang kurasakan kurang saat itu. Yah.. Aku kepengen menjilati biji kemaluannya. Segera aku pelorot celananya hingga ke pahanya. Kuangkat kemaluannya yang mulai mengeras itu, kuperhatikan kepala kemaluan itu menyentuh pusarnya yang berbulu lebat merambat ke atas dan ke bawah.
Owww.. Dua buah biji kemaluannya nampak menggantung indah, hitam dan besar pula. Tak sabar aku jilati keduanya bergantian, membuat Pak Warto menggelinjang. Kusedot2 dengan ganas.
“mas…”
Selanjutnya, kembali aku mengisap kepala kemaluannya yang membengkak walau kemaluannya belum begitu maksimal menegang. Kulumat-lumat dengan gemas. Kurasakan tubuh Pak Wanto bergetar-getar.
“mas… Saya mau keluar….”
Pak Wanto seakan mau menarik kemaluannya dari dalam mulutku, ia seakan ga mau air kenikmatannya membuncah dalam mulutku.
“Euhmm… Euhmmm….”
Aku menahannya agar tidak menarik kemaluannya dari dalam mulutku. Suaraku agak tidak jelas karena tersumpal kemaluannya..
“Akh…… Awas mas…”
Aku kian gencar mengisap-isap kemaluan pak Wanto, tubuhnya kian bergetar hebat dan akhirnya…
Crot… Crot… Crot..
Cairan kental hangat dengan bau khas membuncah dari kepala kemaluan Pak Wanto membanjiri mulutku. Saking banyaknya sebagian meleleh di luar bibirku dan menetes ke lantai. Sementara itu yang tersisa di dalam mulutku tertelan masuk tanpa terkontrol… Namun, aku terus mengisap-isap kemaluannya.
“udah mas…..” rintih pak Wanto karena aku masih saja menyedot-nyedot kemaluannya yang item itu mulai melemah dan mngecil.
“Ih, saya belum puas Pak. Kok udah keluar sih?”
“Baru kali ini mas saya dikulum sedemikian enaknya….” ceritanya malu-malu.
“masa?”
“iya. Kebanyakan cewek2 ga mau lama2 ngulum soalnya katanya kebesaran. Bikin cape”
Pak Wanto keluar duluan dari toilet, sementara itu aku keluar terakhir setelah menuntaskan HIP (hak ingin pipis) yang sedikit tertunda tadi.
Saat aku keluar, kulihat pak Wanto masih berada di situ di dekat wastafel sambil merokok. Dia tersenyum nakal dan aku membalasnya dengan canggung.
“Kenapa Pak?” tanyaku seraya membasuh wajahku dan kumur2 di wastafel.
“Ehm, mas sering ya ngulum kontol?” tanyanya, “kayaknya lihai banget”
“Iya…”
“oh… Pantesan enak banget”
“ Tapi bapak cepat keluar, saya kan belum puas”
“Saya udah 4 hari ini ga dapat jatah dari istri, mas” jawabnya, “jujur, tadi di toilet saya lagi ngocok tapi ga selesai soalnya ada Pak Andi sama Pak Ali masuk ke dalam. Saya takut ketahuan. Kan malu” ujar pak Wanto. Pak Andi adalah kabag di kantor kami. Orangnya ganteng dan aku sebenarnya suka tapi aku ngerasa illfeel aja sama dia soalnya he don’t have any bulge on his pants. Kayaknya punya cowok itu kecil aja. 7 tahun berkerluarga, dia belum juga mendapat momongan, kasian dia. Sedangkan Pak Ali wakil direktur, orangnya sih Ok tapi sama lah, setali 3 uang dengan pak Andy, kayaknya punya dia kecil juga walau demikian anaknya sudah 3 orang.
“Bapak mau tahu nggak?” kataku sambil melirik gundukan selangkangannya yang masih saja terlihat menggunung, “air mani bapak enak banget.. Gurih…”
“Hah?!… “dia kaget, “mas minum mani saya??”
Aku tersenyum melihat kekagetannya.
“Pak, saya ke ruangan dulu ya…” Aku pamit dan sekali lagi kuremas the hot bulge itu. Pak Wanto tidak menolak saat tanganku meremas selangkangannya.
Sejak kejadian di toilet, Pak Wanto dan aku masih bersikap biasa saja dan dia masih usil mencolek pantatku. Dan sesekali saat tidak seorang-pun di dekat kami, aku remas selangkangannya. Tapi, kami tidak pernah melakukannya di kantor lagi. Sesekali pak Wanto berkunjung ke kontrakanku sehingga aku bisa menikmati kejantanannya sepuasnya. Suatu saat akan kuceritakan saat2 dia berkunjung ke rumahku.
Ada yang aneh dari sikap teman-teman satpamnya. Mereka selalu memandangiku dengan tatapan nakal dan senyum aneh. Namun, aku cuek saja. Aku rasa aku mendapatkan kesempatan lagi untuk mendapatkan lelaki str8 yang haus seks. Hehehehe (07Jan2009)